Kamis, 15 Juli 2010

Pesan Para Martir

BUKALAH mesin pencari Google di komputer Anda. Ketik kata kunci "soccer supporters died". Anda akan tercengang menemukan betapa panjangnya deretan suporter sepakbola yang mati saat akan, sedang, atau usai medukung tim pujaan.

Kematian yang tak mengenal batasan wilayah dan waktu. Terjadi di Bandung, Jakarta, Tokyo, London, sampai Kampala, Uganda sana. Terjadi di awal sepakbola resmi dipertandingkan di awal abad 20, dan terus merembet sampai saat Anda membaca tulisan ini sekarang.

Olahraga paling populer di kolong jagat ini seolah telah menagih tumbal ratusan, bahkan mungkin ribuan nyawa pengikutnya. Para pemain ke-12 itu, --istilah yang sering digunakan untuk para suporter karena dukungan mereka kerap membantu kemenangan tim yang dibela-- mati pada hari naasnya.

Kematian yang datang dengan beragam cara. Mulai dari dikeroyok suporter lawan, terjepit dan terinjak-injak rekan dalam rusuh di stadion, jatuh dari atap stadion, jatuh dari atap bus, jatuh dari kereta api dan lain-lain.

Mereka mati dengan cara berbeda-beda. Tapi mereka punya satu kesamaan yakni mati dengan simbol tim kesayangan masih melekat di badan. Simbol itu bisa berupa kostum, syal, bandana, ataupun bendera --yang mungkin warnanya jadi merah kental dibasahi  darah mereka sendiri.

Sebuah akhir episode kehidupan anak manusia yang sungguh sangat memilukan. Tetapi adalah sangat  naif jika kemudian ada yang menyebut kematian mereka sebagai hal yang sia-sia.

Tidak! Tak ada kematian yang sia-sia. Setiap kematian --apalagi dengan cara yang tragis-- selalu menyingkapkan pesan mulia. Mereka, para suporter sepakbola yang mati itu, sejatinya bak seorang martir; mati dengan membawa sebuah pesan untuk sebuah perubahan.

Mereka mati dengan menggaungkan pesan universal: bahwa sepakbola memang bukan sekadar permainan. Bahwa sepakbola sesungguhnya adalah sebuah pertaruhan hidup. Dan pesan yang tak ternilai harganya itu --karena ditebus dengan nyawa manusia-- akan terus bergaung sepanjang mereka yang terlibat dalam sepakbola masih bersikap main-main.

Dengan kata lain, sepanjang pihak keamanan, panitia penyelenggara, pengurus tim sepakbola, kelompok suporter, serta individu suporter itu sendiri, masih main-main memperlakukan sepakbola, maka kematian demi kematian lain pun akan terus berdatangan.

Dengan caranya sendiri, para martir itu mengirimkan  pesan berdarah kepada  rekan-rekan suporter lain, agar tak meniru tindakan konyol yang terlanjur menggiring mereka ke balik nisan.

Para martir itupun, dengan cara mereka sendiri, telah mengirimkan alarm peringatan kepada pihak keamanan, dan panitia penyelenggara pertandingan untuk lebih sigap mengantisipasi, bersikap tegas, dan tanpa kompromi jika mencium ada aroma kematian lagi mulai disenandungkan oknum suporter.

Pesan itulah yang mungkin ingin digaungkan para martir sepakbola. Pesan, yang meski tak tertulis di batu nisan, tapi menggemakan teriakan lantang: Kematian kami tak sia-sia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar