Selasa, 27 Juli 2010

Ketika Loyalitas Sudah Tak Lagi Dihargai


Oleh M Yanuar F

28 Jul 2010 08:57:00


Saya memiliki teman wanita yang gila bola. Dia juga sempat menjadi reporter olahraga di salah satu media online ternama di Indonesia.

Jika sudah begitu, lumrah jika dia memiliki tokoh idola di dunia sepakbola, dan pilihannya jatuh pada sosok Raul Gonzalez, legenda hidup Real Madrid.

Dan ketika muncul kabar, yang pada akhirnya terbukti benar, Raul meninggalkan Santiago Bernabeu, wall di akun Facebook-nya dibanjiri oleh banyak simpati. Dia sendiri juga mempertanyakan mengapa Raul bisa 'dibuang' Real Madrid, sebelum akhirnya menerima apa adanya. 

"Mau bagaimana lagi?" katanya, walau mungkin dalam hatinya masih gondok, mengingat tim kesayangan dan bintang idolanya kini tak lagi sejalan beriringan.

Saya yakin teman perempuan saya itu bukanlah satu-satunya orang yang terkejut, tak menyangka dengan hengkangnya Raul dari Real. Padahal pemain ini dikenal sebagai ikonnya Los Merengues. Raul bahkan oleh fans disebut sebagai Pangeran-nya Real Madrid. Tapi siapa yang menyangka jika seorang Pangeran sekali pun harus 
terusir dari kerajaannya sendiri.

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Raul juga terkenal dengan loyalitasnya. Ketika dia menyatakan kesediaan untuk menandatangani kontrak seumur hidup dengan Real Madrid, seperti halnya Iker Casillas, dia sadar konsekuensinya adalah pendapatan akan terus menurun seiring berjalannya waktu. Demikian juga kuantitas tampil di tim utama. Tapi toh Raul masih setia dengan Real.

Namun loyalitas semacam ini tidak berlaku bagi Real Madrid. Dengan menerapkan manajemen sepakbola, yang konon, pragmatis, pemain harus siap dikorbankan, bagaimana pun bentuknya, termasuk ditendang dari tim sekali pun. Ironisnya, sang ikon klub menjadi korban dari hal ini.

Sebenarnya apa yang dilakukan Real Madrid bisa dibenarkan jika melihatnya dari sudut pandang ekonomi. Keberadaan Raul di klub dengan tenaganya yang tak bisa dimaksimalkan tim, mengingat pelatih Jose Mourinho memiliki opsi yang lebih baik untuk lini depannya, menjadi hal yang mubazir. Raul tidak dimainkan, namun harus terus menerima gaji, dan hal ini tidak efektif dalam menyeimbangkan keuangan klub.

Tapi, tetap oleh sebagian pihak, melepas Raul adalah hal yang di luar dugaan dan tak bisa dibenarkan. Jasa-jasa Raul untuk Real Madrid sangat besar. Catat saja, enam gelar La Liga Spanyol, empat tropi Piala Super Spanyol, tiga gelar Liga Champions, satu Piala Super Eropa dan dua gelar juara Antarklub Dunia adalah prestasi yang diberikan Raul selama 25 musim membela Real Madrid. 

Raul juga tak pernah mencoreng muka Real Madrid dengan aksinya di dalam mau pun di luar lapangan. Bayangkan saja, selama 15 musim terakhir membela Real Madrid, tak sekali pun kartu merah didapatnya. Di media Spanyol pun jarang sekali muncul berita miring mengenai kehidupan pribadinya. Raul, seperti halnya Paolo Maldini, dinilai sebagai orang yang bersahaja dan menjauhi masalah. Dia adalah panutan bagi pemain dalam bersikap di dalam dan di luar lapangan.

Harusnya, jika sudah seperti itu, loyalitas dan kontribusi Raul lebih dihargai, begitu kira-kira permintaan fans Raul. Apa lacur, Raul sudah pergi. Loyalitasnya tidak lagi masuk dalam hitung-hitungan Real Madrid. Sepakbola pragmatis dengan memaksimalkan kemampuan pemain yang ada lebih dikedepankan.

Jadi beruntunglah Paolo Maldini, Ryan Giggs, Paul Scholes, yang loyalitasnya untuk klub mereka masing-masing masih dihargai.

goal.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar